Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Cholil Mahmud (ERK), Jumat 17 November 2023, di Kios Ojo Keos.

Seno Gumira Ajidarma dan Para Pelacur-nya telah berhasil menggoyang-goyangkan kesadaran pembaca.

Pelacur sudah kadung menyandang makna negatif dalam benak masyarakat. Contoh, orang akan terperanjat ketika mendengar jawaban bahwa suatu malam kita ditemani Para Pelacur dalam Perahu, untuk memberi tahu bahwa kita sedang khusyuk menyelesaikan novel terbaru Seno Gumira Ajidarma. Yang mendengar akan menduga kita sedang ‘membeli’ tubuh orang lain, baik perempuan maupun lelaki. Profesi disebut sebagai profesi paling tua di dunia ini memiliki makna yang selalu buruk, bahkan ketika mereka belum sempat diberi kesempatan menjelaskan, apalagi membela. 

Tidak demikian dalam teks sastra. Sastra haruslah memberi tafsir lain atau ruang baru bagi siapa pun, termasuk kata (atau pun profesi) pelacur. Para Pelacur dalam Perahu, fiksi panjang Seno Gumira Ajidarma yang baru saja terbit ini secara teknis memang mengisahkan para pelacur yang menyusuri sungai dalam sebuah Perahu Cinta, tentulah mereka menjajakan cinta kepada pelanggan sebab dengan ini mereka disebut sebagai pelacur. 

Seno dengan kesadaran penuh tidak tampil sebagai narator yang berlagak suci dan menghakimi, pun tidak pada sisi ekstrem sebaliknya yang membela habis-habisan. Seno dalam novel menempatkan pelacur sebagai perempuan yang berdaya dan hidup yang kebetulan saja dalam perahu. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, pelacur juga memiliki martabat. Dan beginilah Seno memulai tragedi pembakaran rumah bordil milik Tumirah: 

“Para pelacurnya diperkosa, yang melawan dianiaya, dana sebagian besar dibunuh karena mempertahankan kehormatan. Tentu saja para pelacur mempunyai kehormatan. Mereka bukan hanya berdarah dan berdaging. Mereka mempunyai hati, nurani, perasaan, dan pikiran.” (hal.1)

Rumah Bordil milik Tumirah ada di kawasan antara; di tengah wilayah konflik; antara kamp gerilyawan dan markas tentara; sehingga pelacur-pelacur milik Tumirah juga harus melayani mereka secara bergantian antara tentara dan gerilyawan. Namun, pelaku-pelaku pembakaran dan penganiaya para pelacur bukan dari salah satu mereka. Melainkan, sekelompok lelaki berbaju serbahitam dengan topeng mirip ninja. Mereka merangsek dan merusak, sehingga Tumirah bersama 20 pelacur yang selamat dari jumlah total 50 orang pelacur, harus mencari suaka dengan menaiki kapal dan menyusuri sungai.

Pada mulanya, Tumirah tidak mempunyai niatan menjadikan perahu mereka sebagai tempat bertransaksi, sebab Tumirah dan rombongan hanya menyelamatkan diri. Sampai menjauhi kesedihan, meminjam jawaban Tumirah ketika ditanya sampai mana perahu akan berlayar. Namun dalam pemberhentian pertama, ketika perahu harus bersandar sebab mulai kehabisan bekal, pelacur yang dengan naluri dasarnya menyukai dandan, turun ke daratan dan menyedot perhatian. Dari sanalah Tumirah harus menerima kenyataan bahwa kehadiran mereka mau tidak mau akan terus mencolok mata laki-laki yang kemudian turut ke perahu-perahu kecil. 

Setelah perahu biasa itu dirombak menjadi Perahu Cinta dengan lampion merah menyala ketika malam, perahu itu melaju menyusuri sungai dengan kejutan dan misteri yang tidak pernah diduga. Ada kematian, ada penyerangan, ada pelacur yang harus turun dan menikah dengan orang lokal, ada serbuan ular, dan kelak perahu akan bersua dengan kematian.

Martabat dan Paradoks

Sebelum memulai membaca, kita mungkin sudah akan ketakutan novel ini akan orkestrasi pandangan machoisme terhadap profesi dan perempuan yang dikisahkan. Namun sampai novel ini rampung, kita justru dibawa ke kesadaran bahwa perahu dan pelacur yang hidup di dalamnya hanya simbol akan eksistensi kehidupan yang terus bergerak, menunggu keajaiban demi keajaiban, sesekali dukacita yang lantas berujung pada kefanaan itu sendiri. 

Juga dalam menggambarkan tokoh-tokoh perempuan Seno hadir dengan kesadaran gender yang patut dicatat baik. Seno menggambarkan bahwa semua kru adalah perempuan, kecuali Roni seorang lelaki juru kecantikan seorang. “Pada prinsipnya Tumirah tidak bersedia menerima lelaki sebagai pegawainya. Namun tentu Roni adalah perkecualian, karena Roni tergolong teruna, lelaki yang keperempuan-perempuanan; yang terpenting, ia menguasai sangat banyak hal tentang kecantikan.” (hal.44)

Tumirah, digambarkan perempuan alfa yang dominan dan mampu menjadi pemimpin. Ada Supiah perempuan dengan tubuh kekar tinggi besar, jago beladiri yang kemudian menjadi penjaga Perahu Cinta dan para pelacur Tumirah. Supiah juga yang mengajari para pelacur jurus setiap pagi sebelum belajar Kāma Sūtra. Ada perempuan juru kemudi, perempuan ahli mesin, ada pelacur pembaca puisi, pemain biola, ahli filsafat, dll. Atau bagaimana para pelacur ini memiliki kesadaran akan orientasi seksual bahwa tidak selamanya hubungan lelaki-perempuan, kadang kalanya lelaki-lelaki, perempuan-perempuan, dan lain sebagainya.

Tokoh perempuan dalam novel ini digambarkan berdaya dengan pilihan dan kemampuannya, serta tidak terjebak untuk menghakimi seperti sekelompok orang berbaju serbahitam. Selain itu, beberapa hal juga digambarkan sangat paradoks yang menyentak kesadaran pembaca. Di tengah konflik, justru yang mengingatkan kehidupan ialah kehadiran rumah bordil. 

Rumah bordil di tengah hutan yang menjadi medan pertempuran itu adalah satu-satunya yang mengingatkan bertapa kehidupan masih berharga, tulis Seno dalam novel. 

Juga bagaimana adegan para istri di salah satu pemberhentian yang naik ke kapal bukan untuk belajar mengapa para pelacur itu mampu membuat suami mereka berbahagia selepas turun dari Perahu Cinta. Fenomena ini kemudian menyadarakan Tumirah bahwa hampir di banyak hal perempuan kalah.

Mengapa perempuan yang begitu pandai selalu jadi korban, bahkan dianggap paut dikorbankan? Karena perempuan berpikir seperti lelaki memikirkan mereka, bukan berpikir sebagaimana seharusnya perempuan memikirkan diri mereka sendiri. (hal. 68)

Hal-hal yang bersifat paradoksal menjadi hal menarik, termasuk bagaimana hidup yang disimbolkan lajunya perahu di atas aliran sungai justru diwakili oleh para pelacur yang selama ini menyandang makna negatif. Bukan mereka yang suci dan berbaju serba putih yang justru hadir di akhir lantas membawa kehancuran. 

Bahkan dengan bahasa cukup keras, Tumirah tidak menyerahkan doa dan berkat kepada agama ketika salah seorang pelacur wafat. Sebab agama bisa diartikan sebagai yang diciptakan dan konsensus manusia. Menurut Tumirah, “bukan agama atau petugas agama yang mampu memberkati, melainkan Tuhan, yang bahkan tidak beragama bukan? Kami hanya bisa mendoakan.” (hal.195)

Menggoyang-goyang Kehidupan

Tapi apakah kehidupan itu sebetulnya, jika bukan perjalanan itu sendiri, pengembaraan dan petualangan tanpa akhir…” (hal.152)

Perahu Cinta dengan lampion merah adalah perjalanan hidup, menyusuri sungai dan ragam perjumpaan dan kemudian berakhir dengan kehancuran. Dalam perjalanan hidup itulah manusia akan mereguk makna atau setidaknya memandang hidup tidak dengan hitam-putih. Seno Gumira Ajidarma dan Para Pelacur-nya telah berhasil menggoyang-goyangkan kesadaran pembaca. Tidak hanya kisah perjalanan, tetapi juga makna dan peran pelacur yang selama ini nista dan haram-jadah. Tumirah, Supiah, dan para pelacur lainnya dipilih untuk menyampaikan pesan penting perihal menjalani hidup. Dan tentu, melempar simbol-simbol yang tidak bisa seketika dicerna. Mungkin kita seperti seorang pendekar muda berkuda putih yang turut mengirin dari tepian sungai Perahu Cinta, seolah memahami betul apa itu hidup dan aliran kehidupan, nyatanya sesekali tersesat dan buta juga. []

Di situs Jawa Pos: https://www.jawapos.com/buku/013650200/perahu-cinta-martabat-dan-hidup-yang-tidak-hitam-putih

Tentang teguhafandi

masih biasa dan belum menjadi apa-apa
Pos ini dipublikasikan di Tidak Dikategorikan dan tag , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar